Rumah Bernyanyi


Belakangan ini di kota-kota besar marak muncul rumah bernyanyi. Sebuah tempat melepas penat. Sembari menikmati hidangan, pengunjung dapat bernyanyi bersama keluarga atau orang yang dicintai. Toh, jika tak ingin bernyanyi karena tak bersuara emas cukup cukup bersantai sembari menyaksikan artis yang menghibur. Fenomena ini mulai marak bermunculan di kota metropolitan.

Namun, ada sebagian masyarakat tak mau mengocek dompetnya lebih dalam. Lebih baik berhemat. Mereka tak mau repot-repot pergi ke rumah bernyanyi. Orang-orang ini lebih memilih rumah pribadi sebagai tempat untuk bernyanyi ria. Rumah disulap sebagai panggung hiburan.Di dalamnya tersedia perlengkapan menyanyi. Ada home theatre, VCD/DVD lagu terpopuler atau lagu lawas. Tak ketinggalam mic atau pengeras suara. Maka siaplah artis menggoyang panggung. Suara bass diperbesar untuk memberikan efek getar. Maka seisi rumah pun siap untuk bergoyang.

Pada prinsipnya rumah bernyanyi marak bermunculan karena tingginya permintaan masyarakat akan hiburan. Maka pengusaha jasa hiburan pun menangkap peluang itu. Pengusaha sadar bahwa saat ini masyarakat sedang dilanda kegalauan. Masalah yang kompleks membuat masyarakat haus akan pelampiasan. Salah satunya ialah lewat menyanyi.

Nah, bagaimana agama mengukur hal ini? Tentu segala sesuatu pasti ada standar ukurannya. Boleh tidaknya suatu perbuatan tentu ada ketentuannya. Mana hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan sudah ada aturannya. Dimana rule adalah sesuatu yang harus ditaati oleh masyarakat. Aturan itu sendiri dibuat untuk kemaslahatan umat manusia. Untuk mewujudkan kebaikan hidup yang hakiki dunia dan akhirat.

Sama halnya dengan norma-norma agama yang berlaku selama ini. Bagaimana perspektif fenomena bernyanyi atau berkaraokean menurut agama? Boleh atau tidak?

Dengan sungguh disayangkan sebagian saudara kita mengatakan bahwa menyanyi itu adalah urusan pribadi. Jadi, agama tidak usah ikut campur. Anggapan itu perlu diluruskan. Agama adalah universal. Agama mengatur semua aspek kehidupan manusia. Agama adalah firman Tuhan yang harus dilaksanakan oleh manusia. Allah SWT yang maha tahu tentu tahu apa kebaikan dari isi firman-Nya. Allah pun tahu apa kejelekan larangan-Nya jika dikerjakan. Termasuk untuk urusan menyanyi. Agama sudah mengaturnya.

Dalam agama menyanyi adalah sebuah larangan. Dalam hal ini menyanyikan lagu yang mengandung nada atau ajakan kemaksiatan dan kesyirikan. Lagu-lagu yang tak bermanfaat. Termasuk larangan bermain alat-alat musik. Apa sebab? Menyanyi dapat membuat seseorang lupa ingat kepada Tuhannya. Seharusnya umat lebih banyak ingat kepada Allah. Dengan menyanyi maka ingatnya hamba kepada Tuhannya menjadi berkurang.

Bagaimana dengan orang yang tidak menyanyi. Tetapi, mendengar musik. Boleh tidak? Nabi Muhammad hanya memperbolehkan mendengar musik saat lebaran atau saat hajatan pernikahan. Selain itu tak boleh. Termasuk tak boleh menghadiri konser musik. Ini tentu hal yang tidak mudah ditinggalkan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia yang haus akan warna musik. Namun, lagi-lagi karena agama adalah bahasa Tuhan maka larangan harus harus tetap ditinggalkan. Tidak ada pasal-pasal dalam hal urusan agama. Nilai-nilai agama tak bisa dibeli oleh uang. Tak bisa pula diubah oleh sekelompok orang.

Untuk memahami agama manusia tak boleh menggunakan akalnya. Melainkan menggunakan imannya. Kebanyakan manusia melihat sesuatu dari bisa tidaknya sesuatu itu dipikirkan oleh akal. Jika masuk akal maka dikerjakan. Jika tak masuk akal maka dijauhi. Sangat jauh berbeda dengan ajaran Tuhan. Agama adalah dogma yang telah tertulis dalam kitab suci. Yang notabenenya harom diubah sejak waktu berlakunya peraturan itu hingga hari kiamat tiba. Jika peraturannya A maka sampai kapan pun harus tetap A. Tidak boleh berubah menjadi B. Itulah agama.

Urusan menyanyi hukumnya tetap tak boleh meski ada motif ekonomi di dalamnya. Industri musik adalah sumber pendapatan masyarakat sebab berfungsi sebagai pencipta lapangan pekerjaan. Bisa dibayangkan betapa banyak artis yang bergelut dalam industri musik. Jika musik dimatikan bagaimana nasib mereka? Mereka akan kehilangan sumber pendapatan. Untuk menjawab pernyataan ini maka mari kita kembalikan kepada sang pemilik perkara. Apa yang Allah perintahkan untuk dikerjakan tentu mengandung sejuta manfaat yang nalar manusia belum mampu menangkapnya. Sebaliknya, apa yang Allah larang juga mengandung sejuta bahaya jika dikejakan.

 klik disini untuk mendapatkan fasilitas 100 % serba gratis
Dapatkan Fasilitas 100 % Serba Gratis Sekarang Juga


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gimana Hukumnya Mencari Kutu (Petan)

Bantu Pemerintah

Ukuran Kecerdasan